Asahansatu | Korupsi di Indonesia telah menjadi topik yang tak pernah usang dibahas. Dari kasus suap kecil di tingkat desa hingga skandal besar yang merugikan negara triliunan rupiah, praktik korupsi seolah mengakar dalam berbagai sendi kehidupan bangsa ini. Laporan Transparency International tahun 2023 menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi, menunjukkan betapa persoalan ini masih menjadi momok yang sulit diatasi. Namun, pertanyaan yang menggelitik adalah: apakah korupsi telah menjadi bagian dari jati diri orang Indonesia, atau sekadar penyakit sistemik yang bisa disembuhkan dengan upaya kolektif?
Korupsi: Cermin Budaya atau Penyimpangan Moral?
Banyak pihak berpendapat bahwa korupsi di Indonesia terkait erat dengan budaya patronase dan feodalisme yang masih kental. Sistem hubungan patron-klien, di mana loyalitas dan balas budi lebih diutamakan daripada meritokrasi, seringkali menjadi lahan subur bagi praktik korupsi. Misalnya, dalam birokrasi, seorang pejabat mungkin merasa wajib memberi “jatah” kepada atasan atau partai politik yang membesarkan namanya. Fenomena ini diperparah oleh budaya sungkan (enggan menolak permintaan) dan toleransi terhadap pelanggaran kecil, seperti memberi “uang rokok” untuk mempercepat urusan administrasi.
Namun, menyatakan bahwa korupsi adalah bagian dari budaya Indonesia sama saja dengan melegitimasi tindakan tersebut. Budaya Indonesia sendiri sejatinya kaya akan nilai-nilai luhur seperti gotong royong, kejujuran, dan kepedulian sosial yang tercermin dalam filosofi Pancasila. Korupsi bukanlah warisan budaya, melainkan penyimpangan moral yang muncul akibat lemahnya penegakan hukum, ketimpangan ekonomi, dan sistem politik yang oligarkis. Sejarawan Ong Hok Ham dalam bukunya Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong menjelaskan bahwa korupsi di Indonesia modern lebih merupakan produk kolonialisme dan sistem kapitalis yang eksploitatif, bukan budaya asli Nusantara.
Kasus-Kasus Korupsi Besar: Potret Buram Bangsa
Indonesia telah menyaksikan berbagai kasus korupsi besar yang mencoreng nama baik bangsa. Salah satunya adalah skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada era 1990-an, yang merugikan negara sebesar Rp138,4 triliun. Kasus ini melibatkan konglomerat yang melarikan dana talangan pemerintah untuk menyelamatkan bank-bank bermasalah, sementara rakyat kecil harus menanggung dampak krisis moneter. Ironisnya, hingga kini sebagian besar dana tersebut belum berhasil dikembalikan.
Contoh lain adalah kasus penyerobotan lahan negara untuk perkebunan kelapa sawit seluas 37.095 hektare di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, oleh Grup Duta Palma. Perusahaan ini terbukti menguasai lahan secara ilegal selama puluhan tahun, menyebabkan kerugian negara mencapai Rp104,1 triliun. Kasus ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mencabut hak hidup masyarakat adat setempat.
Tidak kalah mengejutkan adalah skandal korupsi PT Asuransi Jiwasraya (2020) yang merugikan negara Rp16,8 triliun. Mantan Dirut Jiwasraya, Hendrisman Rahim, bersama sejumlah pejabat, terbukti menggelembungkan investasi fiktif dan mengalirkan dana ke perusahaan “bodong”. Kasus ini menunjukkan betapa korupsi tidak hanya terjadi di sektor publik, tetapi juga merambah ke korporasi swasta dengan modus yang semakin canggih. Yang terbaru juga saat ini, kasus mega korupsi dilingkungan Pertamina sejak 2018-2023 yang disinyalir merugikan negara sampai Rp 1 kuadriliun.
Korupsi di Tingkat Lokal: Fenomena yang Mengakar
Tak hanya di level nasional, korupsi juga merajalela di tingkat lokal. Di Kabupaten Bangkalan, Madura, misalnya, seorang camat ditangkap KPK pada 2023 karena menerima suap Rp1,2 miliar terkait proyek infrastruktur fiktif. Di Nusa Tenggara Timur, dana bansos Covid-19 senilai Rp5 miliar dikorupsi oleh oknum pejabat desa, padahal masyarakat setempat hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Praktik pungutan liar (illegal levies) di instansi pemerintah juga menjadi pemandangan sehari-hari. Survei Litbang Kompas (2023) mengungkap bahwa 67% responden mengaku pernah memberi “uang pelicin” untuk mengurus KTP, SIM, atau surat izin usaha. Di sektor pendidikan, orang tua rela menyogok pihak sekolah demi memasukkan anaknya ke institusi favorit. Fenomena ini mencerminkan normalisasi korupsi hingga ke akar rumput, di mana masyarakat justru menjadi bagian dari lingkaran setan tersebut.

Upaya Pemberantasan Korupsi Antara Harapan dan Realita
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai garda terdepan telah mencatat sejumlah prestasi. Sejak 2003 hingga 2023, KPK berhasil menyelamatkan aset negara senilai Rp94,5 triliun melalui penindakan 1.352 tersangka. Inovasi seperti sistem e-LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) dan pelibatan masyarakat dalam program Jaga Bhakti patut diapresiasi. Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah ringan.
Revisi Undang-Undang KPK pada 2019 menjadi titik balik yang kontroversial. Dengan dilemahkan kewenangannya—seperti penghapusan penyadapan tanpa izin dan pembentukan Dewan Pengawas yang rentan intervensi—KPK kini seperti macan ompong. Kasus pemecatan 57 pegawai KPK, termasuk penyidik senior Novel Baswedan, memperlihatkan betapa upaya pemberantasan korupsi seringkali berbenturan dengan kepentingan politik. Apalagi, 30% anggota DPR periode 2019-2024 tercatat sebagai tersangka atau terpidana korupsi, menciptakan paradoks di mana pelaku korupsi justru membuat regulasi antikorupsi.
Korupsi dan Identitas Bangsa: Refleksi Kritis
Mengatakan bahwa korupsi adalah jati diri orang Indonesia adalah generalisasi yang tidak adil. Meskipun praktik korupsi masih marak, banyak individu dan kelompok yang berjuang keras melawannya. Gerakan masyarakat sipil seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komite Pemantau Legislatif (Kopel) terus mengawal transparansi anggaran. Jurnalis investigatif seperti Febriana Firdaus dan Evi Mariani tak gentar mengungkap skandal korupsi meski mendapat ancaman. Di dunia akademik, riset-riset tentang tata kelola pemerintahan bersih semakin berkembang, seperti karya Dr. Siti Zuhro dari LIPI yang mengkritik sistem birokrasi patrimonial.
Identitas bangsa Indonesia seharusnya dibentuk oleh nilai-nilai luhur yang tertuang dalam Pancasila, bukan oleh praktik korupsi. Gotong royong dalam membangun desa, kejujuran pedagang di pasar tradisional, atau integritas guru honorer yang mengajar tanpa pamrih adalah cerminan jati diri yang sesungguhnya. Korupsi hanyalah penyakit sistemik yang muncul ketika nilai-nilai tersebut terkikis oleh keserakahan dan lemahnya penegakan hukum.
Peran Pendidikan dan Budaya dalam Membentuk Integritas
Pendidikan memiliki peran krusial dalam membentuk karakter antikorupsi. Sayangnya, kurikulum pendidikan Indonesia masih minim muatan antikorupsi. Survei Kemdikbudristek (2023) menunjukkan hanya 12% sekolah yang secara konsisten mengajarkan nilai-nilai integritas melalui mata pelajaran. Padahal, negara seperti Finlandia dan Singapura telah membuktikan bahwa pendidikan karakter sejak dini mampu menekan angka korupsi.
Di tingkat keluarga, budaya permisif seperti membanggakan anak yang “pintar nyogok” harus diubah. Kampanye Saya Anak Antikorupsi yang digagas KPK perlu diperluas hingga ke daerah terpencil. Selain itu, revitalisasi kearifan lokal seperti siri’ na pacce (rasa malu dan empati) di Bugis atau sepi ing pamrih (bekerja tanpa pamrih) di Jawa bisa menjadi tameng kultural melawan korupsi.
Media dan Jurnalisme: Pilar Keempat Demokrasi yang Terancam
Media memiliki peran strategis sebagai watchdog demokrasi. Investigasi Tempo tentang korupsi proyek Hambalang dan liputan mendalam Tirto.id mengenai skandal korupsi e-KTP adalah contoh bagaimana jurnalisme berkualitas mampu mengungkap kejahatan sistematis. Namun, tekanan terhadap kebebasan pers semakin nyata. Alliance of Independent Journalists (AJI) mencatat 67 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2023, termasuk intimidasi saat meliput kasus korupsi.
Kasus viralnya lagu “Polisi Tidur” oleh band punk Sukatani pada 2024 menjadi bukti betapa isu korupsi masih tabu untuk dikritik. Alih-alih diapresiasi sebagai bentuk kontrol sosial, empat personel band tersebut dipaksa meminta maaf setelah diinterogasi pihak kepolisian. Hal ini mencerminkan upaya sistematis untuk membungsu suara kritis dan melanggengkan budaya korupsi.
Jalan Panjang Menuju Indonesia Bersih
Korupsi bukanlah jati diri orang Indonesia. Ia adalah musuh bersama yang lahir dari sistem yang bobrok, kesenjangan ekonomi, dan budaya impunitas. Pemberantasannya memerlukan upaya kolektif yang melibatkan semua pihak: penegakan hukum yang tegas tanpa tebang pilih, pendidikan karakter berbasis kearifan lokal, pemberdayaan masyarakat sipil, dan kebebasan pers yang dilindungi.
Sejarah membuktikan bahwa perubahan mungkin terjadi. Gerakan Reformasi 1998 yang menjatuhkan rezim otoriter Soeharto adalah bukti bahwa rakyat bisa bersatu melawan ketidakadilan. Kini, saatnya Indonesia menulis babak baru dengan menjadikan antikorupsi sebagai gerakan budaya, bukan sekadar wacana. Hanya dengan komitmen bersama, Indonesia dapat melepaskan diri dari jerat korupsi dan membangun masa depan yang lebih bermartabat.(Red)