Asahansatu | Di negeri yang mengklaim diri sebagai “zamrud khatulistiwa” dengan kekayaan alam melimpah, ironi terbesar justru ada di dalam tangki motor Pak Budi, tukang ojek yang harus menguras dompetnya demi membeli bensin oplosan. Ya, di Indonesia, bahkan bahan bakar pun bisa jadi lakon sinetron: murah di iklan, mahal di realita, dan penuh kejutan di balik pompa SPBU. Isu BBM oplosan kembali menghangat, tapi kali ini bukan sekadar dagangan licik pedagang pinggir jalan. Ini adalah drama korporasi kelas kakap yang mempertontonkan bagaimana kapitalisme dan kebodohan kolektif bersekongkol menghisap keringat rakyat.
Babak 1: Dari Warung Kecil ke Panggung Korporasi—Opsen Oplosan Naik Kelas
Jika selama ini BBM oplosan identik dengan abang-abang nakal yang mencampur bensin dengan minyak tanah atau air hujan, kini praktik serupa diduga naik kasta. Pertamina, sang “kesayangan negara”, dituding melakukan blending Pertalite dengan zat aditif agar bisa dijual sebagai Pertamax. Bedanya, kalau pedagang kecil menggunakan ember dan selang, korporasi besar punya laboratorium canggih dan tim ahli yang bisa mengubah bensin murah jadi “premium” dengan sentuhan mantra kimia.
“Ini bukan oplosan, ini blending!” bantah mereka. Tentu saja, istilah blending terdengar lebih elegan. Seperti membedakan “korupsi” dengan “pengelolaan anggaran kreatif”. Tapi ketika Pertalite yang harganya Rp 10.000 tiba-tiba berubah jadi Pertamax seharga Rp 14.000, rakyat yang harusnya bersyukur dapat “upgrade” gratis malah bingung: mesin motor mereka batuk-batuk, tapi Pertamina tersenyum lebar melihat laba meroket.
Jika pedagang pinggir jalan dihukum karena oplosan, mengapa korporasi yang melakukan hal serupa dengan skala lebih masif justru bersembunyi di balik jargon teknis? Jawabannya sederhana: di Indonesia, hukum itu seperti pisau—tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Babak 2: Kapitalisme Berjubah BUMN: Ketika Serigala Berpura-pura Jadi Domba
Pertamina adalah BUMN yang seharusnya jadi kaki tangan pemerintah melayani rakyat. Tapi kenyataannya, ia lebih mirip tangan kanan kapitalis yang gemar merogoh kocek rakyat. Sejak dipaksa menjadi “perusahaan profesional” yang harus mengejar profit, Pertamina berubah jadi mesin uang dengan wajah sosialis.
Mari bermain logika ala korporasi:
1. Beli minyak mentah murah.
2. Blending dengan zat aditif (baca: oplos) agar memenuhi standar Pertamax.
3. Jual dengan harga tinggi.
4. Jika ketahuan, teriakkan kata-kata ajaib: “Ini demi ketahanan energi nasional!”
Profit melambung, rakyat mengeluh. Tapi siapa peduli? Bukankah di panggung kapitalisme, rakyat hanya figuran yang wajib membayar tiket?
Fakta lucu: Harga BBM di Indonesia disebut lebih murah daripada di Singapura atau Eropa. Tapi di negeri ini, harga “murah” itu harus dibayar dengan kualitas meragukan, SPBU yang kadang hanya jadi tempat cuci uang, dan pejabat yang gemar mengisi bensin subsidi untuk mobil pribadi mereka. Jika ini bukan teater absurd, apa lagi?
Babak 3: Kepercayaan Publik? Sudah Dijual Seharga Minyak Bekas
Kepercayaan masyarakat pada Pertamina ibarat oli mesin—semakin lama dipakai, semakin kotor dan habis. Dari kasus langkanya Pertalite hingga dugaan korupsi pengadaan minyak, setiap skandal adalah paku yang melubangi tangki kepercayaan.
Lihatlah reaksi publik saat isu oplosan Pertamax mencuat: penjualan langsung anjlok 5% dalam sehari. Padahal, Pertamina sudah membantah dengan jargon-jargon teknis yang lebih rumit daripada resep rendang. Tapi rakyat sudah muak. Mereka mungkin tak paham istilah research octane number atau additive formula, tapi mereka tahu betul rasanya mesin motor ngadat setelah isi bensin “aspal” (aspal = asli tapi palsu).
Pertanyaannya: jika Pertamina benar-benar bersih, mengapa respons mereka selalu terlambat dan penuh aroma ketakutan? Seolah-olah setiap klarifikasi hanya dirancang untuk menenangkan emosi pasar, bukan menjawab kegelisahan rakyat.
Babak 4: Rakyat? Cuma Pemeran Statis dalam Lakon Sandiwara
Di negeri ini, rakyat selalu jadi pihak yang harus mengalah. Harga minyak dunia naik? BBM dalam negeri ikut naik. Harga minyak dunia turun? “Maaf, kami sedang kalkulasi subsidi.” Ada isu oplosan? “Itu hoaks! Tapi kami akan mengawasi lebih ketat.”
Sementara rakyat antre di SPBU panas-panasan, pejabat bisa isi bensin di SPBU khusus tanpa antre. Saat masyarakat protes harga mahal, menteri beralasan “hemat energi”. Tapi di garasi rumahnya, koleksi mobil mewah masih terparkir rapi. Ini bukan kebijakan energi—ini komedi gelap dimana elite jadi penonton sekaligus sutradara.
Dan tragisnya, rakyat tak punya pilihan. BBM adalah kebutuhan pokok. Mau tak mau, mereka harus mempercayai Pertamina, meski tahu bisa saja mereka dikhianati. Seperti kata pepatah, “Tak ada tikus yang mau kabur dari kapal tenggelam, karena semua pelabuhan sudah dikuasai kucing.”
Babak 5: Satire dan Sindiran—Karena Menangis Sudah Tak Ada Air Mata
Mari kita buka kartu: jika Pertamina benar melakukan blending curang, ini bukan sekadar pelanggaran bisnis. Ini adalah pembunuhan karakter terhadap kepercayaan publik. Bayangkan jika seorang koki mencampur sop dengan air got, lalu menjualnya sebagai “sup premium dengan kaldu organik”. Itu namanya penipuan. Tapi ketika korporasi melakukannya, itu disebut “strategi bisnis”.
Pertamina bisa belajar dari drama Game of Thrones: “When you play the game of fuels, you win or you die.” Tapi di sini, yang mati bukan Pertamina—tapi motor-motor rakyat yang dipaksa “diet” bensin aspal.
Dan pemerintah? Mereka sibuk dengan jargon-jargon seperti “swasembada energi” dan “ketahanan nasional”, sambil memunggungi realita. Padahal, jika ingin swasembada, mungkin mulai dari hal kecil: stop impor pejabat yang gemar mengimpor mobil mewah!
Epilog: Rakyat Bukan Keledai yang Bisa Diperah Setiap Saat
Di akhir lakon ini, satu hal yang jelas: BBM oplosan—entah dilakukan pedagang kecil atau korporasi—adalah cermin kegagalan sistemik. Ini bukan sekadar persoalan teknis, tapi bukti bahwa kapitalisme liar telah menggerogoti kedaulatan energi bangsa.
Rakyat harus berhenti jadi penonton. Sudah saatnya mereka menuntut transparansi, menggugat setiap kebijakan yang mengibuli, dan menolak jadi korban “kebodohan kolektif” yang dijadikan komoditas.
Jika tidak, bersiaplah untuk masa depan dimana BBM tak lagi perlu dioplos—karena rakyat sudah kecanduan minum air hujan bercampur mimpi.
Catatan Kaki Satir:
1. Blending: Istilah romantis untuk “oplos” ala korporat.
2. Pertamax Aspal: Produk baru Pertamina, cocok untuk mesin yang ingin cepat pensiun.
3. Elite: Spesies manusia yang tangki bensinnya selalu penuh, meski rakyat antre.
4. Kebodohan Kolektif: Komoditas terlaris di Indonesia, dijual bebas di pasar politik dan SPBU.
Penutup: Sebuah Seruan (atau Kutukan?)
Jika artikel ini membuat Anda marah, semoga kemarahan itu tak berakhir di kolom komentar. Tapi jika Anda membaca lalu menghela napas, “Ah, biasa lah di negara ini,” maka selamat—Anda sudah menjadi bagian dari kebodohan kolektif yang menguntungkan segelintir orang.
Pilihannya ada di tangan kita: tetap diam dan dijual oplosan, atau berteriak hingga Pertamina dan kroni-kroninya tersedak bensin aspal mereka sendiri.(*)