Oleh:
Khairul Anhar Harahap,SH
Mahasiswa Pasca Sarjana Hukum Universitas Asahan
Bayangkan ini, seorang pemimpin berdiri di atas panggung megah, mengenakan jas mahal, tersenyum lebar, dan berpidato dengan retorika yang memukau. Dia berbicara tentang “rakyat”, “keadilan”, dan “perubahan”. Tapi, di balik layar, dia hanya seorang boneka. Tangannya digerakkan oleh dalang-dalang tak terlihat, mulutnya mengucapkan kata-kata yang bukan miliknya, dan keputusannya bukan untuk rakyat, melainkan untuk kepentingan segelintir orang yang memegang tali-tali kekuasaan.
Inilah ciri-ciri pemimpin yang jadi boneka politik. Mereka ada di mana-mana, dari tingkat desa hingga istana negara. Mereka adalah produk dari sistem yang korup, di mana kekuasaan bukan lagi tentang melayani, tapi tentang mengabdi pada tuan-tuan yang membiayai karir mereka.
Bicara Banyak, Kerja Sedikit
Pemimpin boneka adalah ahli dalam seni berbicara. Mereka bisa menghabiskan berjam-jam berpidato tentang “cinta rakyat” dan “visi besar”, tapi ketika ditanya apa yang sudah mereka lakukan, jawabannya selalu sama: “Kami sedang dalam proses.”
Mereka pandai membuat janji-janji manis, seperti pedagang obat di pasar yang menjual mimpi-mimpi palsu. “Beri kami waktu lima tahun, dan kami akan membawa perubahan!” Tapi, lima tahun berlalu, yang berubah hanya rekening bank mereka, sementara rakyat tetap terjebak dalam kemiskinan dan ketidakadilan.
Mereka juga ahli dalam membuat program-program yang terdengar megah, tapi sebenarnya hanya proyek pencucian uang atau alat untuk mengalihkan perhatian. “Kami punya program bantuan sosial!” Tapi, bantuan itu hanya sampai di tangan segelintir orang, sementara sisanya hilang di tengah jalan, entah ke mana.
Takut pada Kritik, Tapi Berani pada Rakyat Kecil
Pemimpin boneka memiliki satu ciri khas: mereka sangat alergi terhadap kritik. Begitu ada suara yang menentang, mereka langsung panik. Media dibungkam, aktivis dipenjara, dan mahasiswa dihalau dengan gas air mata. Tapi, di saat yang sama, mereka berani menghadapi rakyat kecil yang tak punya kekuatan.
Mereka akan dengan mudah memotong subsidi untuk rakyat miskin, tapi takut menaikkan pajak untuk konglomerat. Mereka akan tegas menindak pedagang kaki lima yang dianggap “mengganggu ketertiban”, tapi diam seribu bahasa ketika perusahaan besar mencemari lingkungan atau merampas tanah rakyat.
Inilah ironi terbesar: pemimpin yang seharusnya melindungi rakyat, justru menjadi algojo bagi rakyatnya sendiri.
Mengabdi pada Oligarki, Bukan pada Rakyat
Pemimpin boneka tidak pernah bekerja untuk rakyat. Mereka bekerja untuk oligarki, para pemilik modal yang membiayai kampanye mereka, menyediakan jet pribadi, dan mengisi rekening offshore mereka.
Mereka adalah pion dalam permainan catur politik, di mana rakyat hanya menjadi penonton yang tak punya suara. Setiap kebijakan yang mereka buat selalu menguntungkan segelintir orang, sementara rakyat hanya diberi janji-janji kosong.
Contohnya? Lihat saja kebijakan impor yang mematikan petani lokal, atau UU yang dibuat untuk melindungi kepentingan korporasi besar. Semua itu bukan kebetulan, tapi hasil dari permainan politik yang sudah direncanakan dengan rapi.
Selalu Menyalahkan Orang Lain
Pemimpin boneka adalah ahli dalam mencari kambing hitam. Ketika kebijakan mereka gagal, mereka akan menyalahkan pihak lain. “Ini karena situasi global!” atau “Ini karena warisan pemerintah sebelumnya!”
Mereka tidak pernah mau mengakui kesalahan, karena itu akan membuat mereka terlihat lemah. Padahal, rakyat tidak butuh pemimpin yang sempurna. Rakyat butuh pemimpin yang jujur, yang mau mengakui kesalahan dan berusaha memperbaiki diri.
Tapi, pemimpin boneka lebih memilih untuk terus bermain sandiwara. Mereka akan terus menyalahkan orang lain, sambil tersenyum manis di depan kamera.
Menggunakan Agama dan Identitas sebagai Alat Politik
Ini adalah ciri yang paling menjengkelkan: pemimpin boneka sering menggunakan agama dan identitas sebagai alat politik. Mereka akan berbicara tentang “nilai-nilai agama” atau “kebanggaan nasional”, tapi hanya untuk memecah belah rakyat dan mengalihkan perhatian dari masalah sebenarnya.
Mereka akan membuat isu-isu sepele menjadi besar, sambil mengabaikan masalah-masalah mendasar seperti kemiskinan, korupsi, dan ketidakadilan. Tujuannya jelas: untuk mempertahankan kekuasaan mereka, meskipun harus mengorbankan persatuan dan perdamaian.
Tidak Punya Visi Jangka Panjang
Pemimpin boneka tidak pernah punya visi jangka panjang. Mereka hanya memikirkan bagaimana caranya tetap berkuasa, bukan bagaimana caranya membawa negara ini ke arah yang lebih baik.
Mereka akan membuat kebijakan populis yang terlihat baik di mata rakyat, tapi sebenarnya merugikan di masa depan. Misalnya, memberikan subsidi besar-besaran tanpa memikirkan dampaknya pada anggaran negara, atau menjual aset-aset strategis untuk menutupi defisit.
Mereka tidak peduli dengan masa depan bangsa, karena yang penting bagi mereka adalah kekuasaan hari ini.
Mengelilingi Diri dengan Penjilat
Pemimpin boneka selalu dikelilingi oleh penjilat. Mereka tidak mau mendengar suara kritis, karena itu akan mengancam ego mereka. Mereka lebih memilih untuk dikelilingi oleh orang-orang yang selalu bilang “ya” dan “setuju”, meskipun itu berarti mengorbankan kepentingan rakyat.
Ini adalah lingkaran setan yang berbahaya. Semakin banyak penjilat di sekelilingnya, semakin jauh pemimpin itu dari realitas. Mereka akan terus membuat keputusan yang buruk, karena tidak ada yang berani mengkritik atau memberikan masukan.
Tidak Punya Integritas
Ciri terakhir, dan yang paling penting, adalah tidak adanya integritas. Pemimpin boneka tidak punya prinsip yang jelas. Mereka akan berubah-ubah tergantung pada siapa yang memberi mereka keuntungan.
Hari ini mereka bisa berbicara tentang “keadilan sosial”, besok mereka bisa mendukung kebijakan yang merugikan rakyat. Mereka tidak punya pendirian, karena yang penting bagi mereka adalah kekuasaan dan uang.
Rakyat Harus Bangun!
Pemimpin boneka adalah produk dari sistem yang sakit. Mereka ada karena kita, sebagai rakyat, sering kali terlalu diam dan pasif. Kita terlalu mudah terbuai oleh janji-janji manis, dan terlalu takut untuk bersuara.
Tapi, inilah saatnya untuk bangun. Kita tidak bisa terus membiarkan negara ini dipimpin oleh orang-orang yang tidak punya integritas dan visi. Kita harus memilih pemimpin yang benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Kita harus berani menuntut pertanggungjawaban dari para pemimpin kita. Jika mereka tidak bisa memenuhi janji-janji mereka, kita harus berani mengganti mereka. Karena, pada akhirnya, kekuasaan ada di tangan rakyat.
Jangan biarkan negara ini terus dipimpin oleh boneka-boneka politik. Sudah saatnya kita mengambil alih panggung, dan memastikan bahwa suara rakyat benar-benar didengar.
Bayar, bayar, bayar! Tapi, kali ini, biarkan mereka yang membayar harga dari semua kesalahan mereka. Karena rakyat sudah terlalu lama menderita, dan kita tidak akan diam lagi.(*)