Asahansatu | Ditengah gemerlap modernitas, Indonesia tampaknya masih enggan melepaskan diri dari jerat feodalisme yang membelit erat. Pemujaan berlebihan terhadap gelar “Gus” dan “Habib” menjadi cermin betapa masyarakat kita masih terperangkap dalam budaya hierarkis yang mengagungkan status keturunan di atas kapasitas dan integritas individu. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan kegagalan masyarakat dalam menilai seseorang berdasarkan prestasi dan kontribusi nyata, tetapi juga menunjukkan betapa feodalisme masih menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial, politik, dan keagamaan di Indonesia.
Gelar yang Kehilangan Makna
Pada mulanya, gelar “Gus” dan “Habib” hanyalah sebutan biasa. “Gus” digunakan untuk menyapa putra kiai di Jawa, sementara “Habib” ditujukan bagi mereka yang diyakini sebagai keturunan Nabi Muhammad dari Arab Hadrami. Kedua gelar ini awalnya memiliki fungsi sederhana: sebagai penanda garis keturunan atau posisi dalam struktur sosial. Namun, seiring waktu, gelar-gelar ini mengalami inflasi makna akibat penghormatan berlebihan yang diberikan oleh masyarakat. Akibatnya, gelar tersebut tak lagi sekadar penanda garis keturunan, melainkan berubah menjadi simbol sakral yang kebal kritik.
Dalam konteks Jawa, gelar “Gus” sering kali diasosiasikan dengan keturunan kiai atau ulama terkemuka. Sementara itu, gelar “Habib” dianggap sebagai penanda keturunan Nabi Muhammad, yang secara otomatis memberikan status spiritual dan sosial yang tinggi. Namun, penghormatan berlebihan ini justru mengaburkan makna asli gelar tersebut. Gelar yang seharusnya menjadi penanda identitas kini berubah menjadi simbol kekuasaan dan otoritas yang sering kali tidak sejalan dengan kapasitas atau integritas individu yang menyandangnya.
Penyalahgunaan Gelar untuk Kepentingan Pribadi
Ironisnya, kesakralan yang dilekatkan pada gelar “Gus” dan “Habib” justru membuka celah bagi individu oportunis untuk memanfaatkannya demi keuntungan pribadi. Kasus Eko Supriyanto, misalnya, yang mengaku sebagai “Gus Juan Penatas” dan menipu sejumlah orang di Kalimantan Selatan pada 2021, menunjukkan betapa mudahnya gelar tersebut disalahgunakan. Eko, yang bukan berasal dari kalangan kiai atau ulama, memanfaatkan gelar “Gus” untuk membangun citra diri sebagai sosok spiritual yang dipercaya masyarakat. Akibatnya, banyak korban yang tertipu dan mengalami kerugian materiil maupun immateriil.
Demikian pula, investigasi Tempo pada April 2024 mengungkap praktik jual-beli gelar “Habib”. Gelar yang seharusnya dihormati kini diperjualbelikan layaknya komoditas di pasar gelap. Praktik ini tidak hanya merendahkan makna spiritual dari gelar tersebut, tetapi juga menciptakan preseden buruk di mana gelar bisa dibeli oleh siapa saja, terlepas dari integritas dan kapasitas mereka. Hal ini menunjukkan betapa gelar-gelar tersebut telah kehilangan makna sakralnya dan menjadi alat untuk mencapai tujuan pragmatis.
Feodalisme yang Mengakar
Pemujaan terhadap gelar-gelar ini tidak hanya mencerminkan penghormatan, tetapi juga mengukuhkan feodalisme yang telah mengakar dalam budaya Indonesia. Masyarakat cenderung menilai seseorang berdasarkan gelar ketimbang kapasitas atau kontribusi nyata mereka. Hal ini menciptakan hierarki sosial yang kaku, di mana mereka yang menyandang gelar tertentu mendapatkan privilese tanpa perlu membuktikan kompetensi atau integritas.
Feodalisme ini tidak hanya terbatas pada lingkup sosial, tetapi juga merambah ke ranah politik dan keagamaan. Dalam politik, gelar “Gus” atau “Habib” sering kali digunakan sebagai alat untuk menarik simpati dan dukungan massa. Sementara itu, dalam konteks keagamaan, gelar tersebut memberikan otoritas spiritual yang sering kali tidak dipertanyakan. Akibatnya, individu yang menyandang gelar ini sering kali dianggap memiliki kebenaran mutlak, tanpa perlu melalui proses verifikasi atau kritik.
Legitimasi oleh Penguasa
Lebih parahnya, penguasa seringkali turut andil dalam melegitimasi individu-individu dengan gelar tanpa latar belakang yang valid, demi kepentingan pencitraan politik. Penunjukan Miftah Maulana Habiburrahman, yang dikenal sebagai “Gus Miftah”, sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan oleh Presiden Prabowo Subianto, menimbulkan tanda tanya besar. Apakah penunjukan ini didasarkan pada kapasitas dan integritas, atau sekadar balas budi atas dukungan politik? Langkah semacam ini hanya akan memperkuat budaya feodal dan mengaburkan standar kompetensi dalam penunjukan pejabat publik.
Legitimasi oleh penguasa ini tidak hanya merusak tatanan meritokrasi, tetapi juga menciptakan preseden buruk di mana gelar lebih dihargai daripada kompetensi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi politik dan keagamaan, karena masyarakat akan melihat bahwa gelar dan status sosial lebih penting daripada kapasitas dan integritas.
Dampak Sosial dan Moral
Penghormatan berlebihan terhadap gelar “Gus” dan “Habib” juga berdampak pada aspek sosial dan moral masyarakat. Individu yang menyandang gelar tersebut seringkali dianggap memiliki otoritas moral dan spiritual yang tak terbantahkan. Namun, ketika perilaku mereka tidak sesuai dengan ekspektasi moral masyarakat, kekecewaan yang timbul dapat meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi keagamaan secara keseluruhan.
Selain itu, penyalahgunaan gelar untuk menipu atau mencari keuntungan pribadi menciptakan preseden buruk yang merusak tatanan sosial dan moral bangsa. Masyarakat menjadi skeptis terhadap figur-figur spiritual dan keagamaan, yang seharusnya menjadi panutan. Dampak jangka panjangnya adalah erosi nilai-nilai moral dan spiritual yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menyikapi dengan Kritis
Sudah saatnya masyarakat Indonesia bersikap lebih kritis dalam menyikapi gelar-gelar semacam ini. Penghormatan seharusnya diberikan berdasarkan kapasitas, integritas, dan kontribusi nyata seseorang, bukan semata-mata karena gelar yang disandangnya. Dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat yang lebih egaliter dan meritokratis, di mana setiap individu dinilai berdasarkan prestasi dan kontribusinya, bukan latar belakang keturunan atau gelar yang dimiliki.
Pendidikan dan sosialisasi tentang pentingnya meritokrasi perlu digalakkan. Masyarakat harus diajak untuk melihat bahwa gelar hanyalah simbol, sementara kapasitas dan integritas adalah hal yang nyata dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, perlu ada regulasi yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan gelar, baik dalam konteks sosial, politik, maupun keagamaan.
Pemujaan berlebihan terhadap gelar “Gus” dan “Habib” merupakan manifestasi dari feodalisme yang masih mengakar kuat dalam budaya Indonesia. Penyalahgunaan gelar untuk kepentingan pribadi, legitimasi tanpa dasar oleh penguasa, serta dampak negatif terhadap tatanan sosial dan moral, menjadi bukti bahwa kita perlu mereformasi cara pandang terhadap gelar-gelar tersebut.
Masyarakat harus mulai menilai individu berdasarkan kapasitas dan integritas mereka, bukan semata-mata karena gelar yang disandang. Hanya dengan demikian, kita dapat melepaskan diri dari belenggu feodalisme dan menuju masyarakat yang lebih adil dan bermartabat.(*)