Penulis:
Ella Izzatin Nada
Mahasiswa S3 Pendidikan IPA UNS/Dosen UIN Walisongo
Kerusakan lingkungan kini menjadi salah satu isu global yang mendesak untuk segera diatasi. Dari perubahan iklim yang memicu bencana alam hingga polusi yang mencemari udara, air, dan tanah, bumi ini semakin menderita akibat ulah manusia. Manusia, yang seharusnya menjadi pelindung alam, justru terus-menerus mengeksploitasi sumber daya tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Sebagai umat yang diajarkan untuk menjaga keseimbangan alam, manusia seringkali lupa bahwa alam adalah rumah bersama, yang harus dijaga dan dilestarikan.
Dalam konteks ini, Green Chemistry muncul sebagai salah satu pendekatan ilmiah yang menawarkan solusi konkret. Namun, lebih dari sekadar pendekatan teknis, konsep ini dapat diperkaya melalui perspektif Islam yang menawarkan pandangan filosofis dan spiritual tentang hubungan manusia dengan alam.
Sebagai umat Muslim, kita tidak dapat mengabaikan panggilan moral ini. Al-Qur’an dengan jelas mengingatkan kita bahwa kerusakan di muka bumi adalah akibat ulah tangan manusia. Dalam QS. Ar-Rum [30:41], Allah berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…”
Ayat ini memberikan pesan mendalam bahwa manusia memiliki tanggung jawab besar untuk melindungi alam sebagai amanah dari Sang Pencipta (Ibrahim, 2010). Inilah titik pertemuan antara Green Chemistry dan Islam: keduanya mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan ekologis demi keberlanjutan hidup.
Apa Itu Green Chemistry?
Green Chemistry, atau kimia hijau, merupakan cabang ilmu kimia yang bertujuan merancang proses kimia yang lebih ramah lingkungan. Prinsip dasar dari Green Chemistry meliputi efisiensi energi, penggunaan bahan baku terbarukan, dan pencegahan limbah (Anastas & Warner, 1998).
Salah satu contoh nyata penerapannya adalah pengembangan plastik biodegradable, yang dapat terurai secara alami tanpa mencemari lingkungan. Pendekatan ini sangat relevan dengan ajaran Islam yang menganjurkan sikap hemat dan tidak boros.
Sebagai contoh, Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad mengingatkan umatnya untuk tidak menyia-nyiakan air meskipun berada di sungai yang mengalir deras. Hal ini menggambarkan pentingnya kebijaksanaan dalam penggunaan sumber daya alam.
Namun, Green Chemistry tidak hanya terbatas pada inovasi teknologi. Ia juga mengajarkan pentingnya perubahan pola pikir, dari semula mengeksploitasi alam untuk kepentingan pribadi menjadi merawat dan melestarikan alam. Dalam perspektif Islam, hal ini selaras dengan konsep khalifah.
Sebagai khalifah di bumi, manusia diberi tanggung jawab untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan bijaksana, namun juga dengan kewajiban untuk menjaga dan melindunginya (Ahmad, 2009).
Mengapa Perspektif Islam Penting?
Ilmu pengetahuan modern seringkali dianggap bebas nilai, tetapi Islam menegaskan bahwa ilmu harus berlandaskan moralitas. Al-Qur’an dan hadis memberikan panduan etis tentang bagaimana manusia seharusnya berinteraksi dengan alam.
Dalam QS. Al-A’raf [7:31], Allah berfirman, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Ayat ini menunjukkan bahwa menjaga lingkungan bukan hanya sebuah pilihan, tetapi juga bagian dari ibadah.
Pemikir Islam seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina menekankan pentingnya integrasi antara sains dan etika. Mereka percaya bahwa eksplorasi ilmiah harus dilakukan dengan rasa hormat terhadap alam sebagai ciptaan Allah. Prinsip ini sangat relevan dalam konteks Green Chemistry, di mana inovasi teknologi harus selalu mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan.
Sebagai contoh, penggunaan energi terbarukan seperti panel surya dan turbin angin tidak hanya mengurangi emisi karbon, tetapi juga mencerminkan rasa syukur atas nikmat Allah berupa sumber daya alam yang melimpah (European Green Chemistry Network, 2020).
Bagaimana Islam Mendukung Green Chemistry?
Islam memberikan landasan filosofis yang sangat kuat untuk mendukung prinsip-prinsip Green Chemistry. Dalam QS. Al-Mulk [67:3-4], Allah berfirman, “Dialah yang menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat. Kamu tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah itu sesuatu yang tidak seimbang.” Ayat ini mengajak manusia untuk merenungkan ciptaan Allah, dari langit hingga bumi, dan mengingatkan kita bahwa alam semesta ini diciptakan dengan keseimbangan yang sempurna.
Perintah ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan keimanan, tetapi juga untuk mendorong manusia menjaga keseimbangan alam. Rasulullah SAW sendiri adalah teladan dalam hidup berkelanjutan. Beliau menganjurkan untuk menanam pohon, bahkan jika kiamat sudah dekat (HR. Ahmad), sebagai bentuk sikap bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Lebih dari itu, Islam juga mengajarkan prinsip keadilan ekologis. Dalam QS. Ar-Rahman [55:7-8], Allah berfirman, “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan), supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.”
Ayat ini mengingatkan bahwa keseimbangan adalah prinsip utama dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam eksplorasi ilmiah. Green Chemistry merupakan wujud nyata dari penerapan prinsip ini, di mana setiap inovasi teknologi harus dirancang untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam (Ahmad, 2009).
Langkah Nyata untuk Mengimplementasikan Green Chemistry
Namun, bagaimana langkah praktis untuk menerapkan Green Chemistry dalam kehidupan sehari-hari? Jawabannya dimulai dari hal-hal kecil yang bisa kita lakukan sebagai individu. Mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, mendukung produk ramah lingkungan, dan menghemat energi adalah beberapa langkah sederhana yang dapat kita lakukan.
Pemerintah juga memiliki peran besar dalam mendorong regulasi yang mendukung penelitian dan inovasi hijau. Negara-negara seperti Jerman dan Finlandia telah menunjukkan bahwa investasi dalam teknologi hijau tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga menguntungkan secara ekonomi (European Green Chemistry Network, 2020).
Di Indonesia, potensi penerapan Green Chemistry sangat besar, mengingat kekayaan sumber daya alam yang dimiliki. Misalnya, pengembangan biomassa dari limbah pertanian dapat menjadi solusi energi terbarukan yang berkelanjutan. Namun, keberhasilan ini memerlukan kesadaran dan dukungan dari semua pihak, mulai dari masyarakat hingga pembuat kebijakan.
Menjaga Bumi sebagai Ibadah
Pada akhirnya, Green Chemistry bukan hanya soal teknologi, tetapi juga perubahan paradigma. Islam memberikan landasan moral dan spiritual, sementara sains menawarkan solusi praktis. Dengan mengintegrasikan keduanya, kita dapat menciptakan dunia yang lebih baik untuk generasi mendatang. Menjaga lingkungan adalah bentuk syukur atas nikmat Allah.
Sebagaimana dalam QS. Ibrahim [14:7], Allah berfirman, “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” Dengan menjaga bumi ini, kita tidak hanya menjalankan amanah sebagai khalifah, tetapi juga mempersembahkan bumi dalam keadaan terbaik kepada Sang Pencipta. Bukankah ini saatnya kita bertindak?
Referensi:
1. Anastas, P. T., & Warner, J. C. (1998). Green Chemistry: Theory and Practice. New York: Oxford University Press.
2. Ibrahim, M. A. (2010). The Islamic Perspective on Environmental Conservation. Lahore: Islamic Research Foundation.
3. Ibrahim, M. A. (2010). The Islamic Perspective on Environmental Conservation. Lahore: Islamic Research Foundation.
4. Ahmad, M. (2009). Islam and Environmental Ethics. Riyadh: International Islamic Publishing House.
5. European Green Chemistry Network. (2020). Sustainable Chemistry Practices. Brussels: European Green Chemistry Network.