Asahansatu | Jika dulu Kamboja dikenal sebagai negeri Angkor Wat yang mistis, kini julukannya lebih mirip Sin City Asia Tenggara surga judi online yang dihidupi oleh mimpi cepat kaya dan air mata korban perdagangan manusia. Di tengah candi-candi yang menjulang, berdirilah gedung-gedung pencakar langit berisi server judi, dioperasikan oleh para WNI yang ironisnya dilarang keras berjudi di negeri sendiri. Inilah kisah bagaimana Kamboja menjadi panggung sandiwara gelap kapitalisme, di mana WNI bukan sekadar figuran, tapi sutradara sekaligus korban.
Dari Angkor Wat ke Server Judi Kamboja dan Seni Mengubah Sejarah Jadi Uang
Kamboja, negeri yang dulu membanggakan warisan UNESCO, kini lebih bangga menjadi Las Vegas-nya Asia Tenggara. Regulasi longgar dan pajak yang ramah membuat korporasi judi online berdatangan. Pemerintah Kamboja paham betul: mengapa repot menjaga candi jika bisa mencetak uang dari klik-klik mouse?
Sihanoukville, kota pantai yang dulu sepi, kini dipenuhi kasino dan apartemen mewah. Di sini, mata uang resminya bukan riel, melainkan dollar dan rupiah. Sebab, tenaga kerjanya banyak diimpor dari Indonesia. Para WNI datang dengan mimpi gaji Rp15-20 juta sebulan angka yang terdengar seperti dongeng di negeri di mana UMR Jakarta masih berkutat di Rp5 juta.
Tapi jangan salah, Kamboja tak sekadar memperkerjakan WNI. Mereka diperas. Banyak yang terjebak dalam kontrak kerja mirip perbudakan modern. Paspor disita, gaji ditahan, dan ancaman kekerasan menjadi menu harian. Jika Angkor Wat adalah simbol kejayaan masa lalu, Sihanoukville adalah monumen keserakahan masa kini.
WNI: Dari Buruh Pabrik Hingga Raja Judi Online
Di Indonesia, judi online ilegal. Tapi di Kamboja, WNI justru jadi taipan. Nama-nama seperti Harianto Lisnah (pemilik Istanaimpian Co, Ltd.) menjadi bukti: selama ada celah hukum, orang Indonesia bisa jadi raja di negeri orang.
Inilah ironi terbesar: di dalam negeri, mereka bisa jadi pengangguran atau buruh pabrik. Tapi di Kamboja, dengan modal nekat dan koneksi internet, mereka menjadi digital warlord yang menggerakkan mesin uang dari jeratan judi online. Pemerintah Indonesia sibuk memblokir situs judi, sementara warganya membangun kerajaan di luar negeri seolah berkata, “Larangan di rumah, bisnis di tetangga.”
Tak heran jumlah WNI di Kamboja melonjak dari 3.000 (2018) menjadi 123.000 (2023). Sebanyak 89.000 di antaranya mengajukan izin tinggal jangka panjang. Mereka bukan turis mereka kuli digital yang bekerja 12 jam/hari, mengelabui korban judi online di Indonesia dengan janji jackpot.
Hukum Indonesia vs. Realitas Kapitalis: Siapa yang Lebih Absurd?
Indonesia melarang judi online? Tentu! Tapi lihatlah betapa kreatifnya hukum kita:
1. Blokir 800.000+ situs judi (data Kominfo 2023).
2. Tahan para bandar kecil di dalam negeri.
3. Lalu, tutup mata saat mafia judi beroperasi dari Kamboja.
Polri mengakui mayoritas jaringan judi online di Indonesia dikendalikan dari Kamboja, Laos, dan Myanmar. Transaksi? Pakai rekening bodong. Server? Di luar negeri. Penegak hukum kita? Sibuk mengejar kambing hitam lokal sementara para bosnya tertawa lebar di Phnom Penh.
Inilah hukum ala Indonesia: seperti kucing yang mengejar ekornya sendiri. Sementara itu, Kamboja cuma tersenyum: “Terima kasih sudah mengirimkan pekerja dan konsumen!”
Perdagangan Manusia Berkedok ‘Dream Job’
“Dibutuhkan karyawan di Kamboja! Gaji Rp20 juta, akomodasi mewah, dan bonus tanpa batas!”
Iklan-iklan seperti ini menghiasi grup Facebook dan WhatsApp. Calon korban biasanya pemuda dari desa terbang ke Kamboja dengan mimpi mengubah nasib. Tapi begitu tiba, paspor mereka disita. Mereka dipaksa kerja sebagai customer service judi online, menghubungi korban di Indonesia dengan skrip penipuan.
Jika menolak? Ancaman pemerkosaan (khusus perempuan), pemukulan, atau bahkan dijual ke sindikat lain. Laporan International Organization for Migration (IOM) menyebut 70% korban perdagangan manusia di Kamboja berasal dari Indonesia.
Pemerintah Indonesia tentu sudah berusaha. Baru-baru ini, 84 WNI (termasuk 3 ibu hamil) dipulangkan dari Myanmar. Tapi masih ada 366 korban antre belum termasuk ribuan yang belum terdata. Ini bukan penyelamatan, ini sekadar mengambil air dari laut dengan gayung.
Pemerintah vs. Judi Online: Perang yang Tak Seimbang
Kementerian Luar Negeri RI mungkin bisa berbangga: “Kami sudah memulangkan 500+ korban!” Tapi apa artinya jika akar masalahnya tak tersentuh?
1. Edukasi? Masyarakat desa tetap tergiur gaji Rp20 juta.
2. Penegakan Hukum? Bos judi di Kamboja kebal hukum Indonesia.
3. Kerja Sama Internasional? Pemerintah Kamboja lebih suka uang daripada moral.
Sementara itu, Kemenkumham sibuk mempersulit pembuatan paspor—seolah itu solusi. Padahal, sindikat judi sudah beralih ke jalur ilegal: menyelundupkan korban lewat perbatasan darat.
Judi Online: Bisnis atau Bencana Nasional?
Para pembela judi online berkoar: “Ini bisnis legal di Kamboja! Jangan sok suci!” Tapi mari berhitung:
– Ekonomi: Uang mengalir ke rekening offshore, bukan ke kas negara.
– Sosial: Ribuan keluarga Indonesia hancur karena kecanduan judi.
– Moral: Negara diam melihat warganya jadi algojo bagi saudara sebangsanya.
Ini bukan bisnis ini parasit yang menghisap darah dari kedua ujung: pekerja yang dieksploitasi dan korban yang kehilangan tabungan.
Masyarakat Indonesia: Antara Korban dan Komplotan
Di balik fenomena ini, ada pertanyaan yang menggelitik: siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab? Pemerintah yang lamban, sindikat judi yang kejam, atau masyarakat yang mudah tergiur?
Banyak WNI yang terjebak dalam industri ini sebenarnya tahu risikonya. Tapi ketika hidup di negeri sendiri tak menjanjikan masa depan, Kamboja menjadi escape plan yang sulit ditolak. Ini bukan sekadar masalah hukum atau moral ini adalah cermin kegagalan sistemik.
Epilog: Solusi Satir untuk Negeri yang Gemar Berpura-pura
Jika pemerintah serius memberantas judi online, coba solusi berikut:
1. Kirim Menteri Keuangan ke Kamboja: Beli semua kasino, lalu ubah jadi tempat les Bahasa Indonesia.
2. Legalisasi Judi di Indonesia: Biar uangnya masuk ke APBN, bukan kantong taipan Kamboja.
3. Buat Lagu Nasional “Judi Itu Haram”: Putar 24 jam di perbatasan agar WNI kapok ke Kamboja.
Atau kita bisa berhenti berlagak suci. Akui saja selama rakyat miskin dan hukum tak berdaulat, Kamboja akan tetap menjadi surga yang kita ciptakan sendiri.
“Jadi, jika Anda bosan jadi WNI biasa, datanglah ke Kamboja! Di sini, Anda bisa jadi bos judi online, korban perdagangan manusia, atau bahkan keduanya sekaligus semua dalam satu paket eksklusif! Bonus: paspor disita, gaji ditahan, dan pengalaman hidup layaknya karakter sinetron. Tunggu apa lagi? Segera hubungi agen penipu terdekat!”
Satir Penutup:
“Selamat datang di Kamboja: di sini, WNI bisa jadi bos judi, korban perdagangan manusia, atau keduanya sekaligus. Pilih peran Anda!”.

