Menelusuri Kurikulum IPA di Jerman Mengintegrasikan Sains dan Teknologi: Sebuah Perbandingan dengan Indonesia

oleh

Oleh:

Dwi Retno Sari, Sony Yunior Erlangga
Mahasiswa S3 Pendidikan IPA, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Dosen Pengampu:
Prof. Sulistyo Saputro, M.Si., Ph.D.


1. Pendidikan di Jerman

Secara geografis, Jerman berada di pusat benua Eropa dengan luas wilayah 356.957 km². Negara ini berpenduduk lebih dari 82 juta jiwa, dengan sekitar 8% di antaranya bukan warga negara Jerman. Awalnya, sistem pendidikan Jerman dipengaruhi oleh dua institusi besar, yaitu negara dan agama (gereja).

Selain itu, negara bagian juga mengklaim hak untuk mengatur sistem pendidikan secara independen. Sejak diberlakukannya wajib belajar pada abad ke-17, pendidikan perlahan-lahan beralih menjadi tanggung jawab negara. Berdasarkan sistem federal Jerman, tanggung jawab pendidikan dibagi antara pemerintah federal dan negara bagian, di mana negara bagian memiliki peran utama dalam mengelola sekolah umum, sekolah kejuruan, dan taman kanak-kanak.

Pendidikan di Jerman diarahkan untuk menanamkan tekad yang kuat agar masyarakat bisa bangkit kembali, serta memberikan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi negara yang tangguh dan mandiri.

2. Struktur Pendidikan di Jerman

1) Pendidikan Pra-sekolah (Kindergarten). Ditujukan untuk anak-anak berusia 3 hingga 6 tahun. Program ini bersifat non-formal dan fokus pada perkembangan sosial, emosional, serta keterampilan dasar melalui bermain.

2) Sekolah Dasar (Grundschule). Sekolah dasar (Grundschule) berlangsung selama empat tahun, mulai usia 6 hingga 10 tahun.

3) Sekolah Menengah Pertama (Sekundarstufe I). Setelah Grundschule, siswa melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (Sekundarstufe I) dari usia 10 hingga 16 tahun.

4) Sekolah Menengah Atas (Sekundarstufe II). Siswa dapat melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (Sekundarstufe II) dari usia 16 hingga 19 tahun, dengan kesempatan untuk memilih program spesifik, termasuk sains.

5) Pendidikan Tinggi (Universitas dan Fachhochschule). Setelah Sekundarstufe II, siswa dapat melanjutkan ke pendidikan tinggi di universitas atau Fachhochschule. Program di tingkat ini menawarkan pendidikan akademis dan praktis dalam berbagai bidang, termasuk sains dan teknologi.

3. Kurikulum IPA di Jerman

Kurikulum IPA di Jerman dirancang untuk membangun fondasi yang kuat dalam pemahaman sains sejak usia dini. Setiap jenjang pendidikan memiliki pendekatan dan fokus yang berbeda, mulai dari pengenalan konsep dasar di pendidikan pra-sekolah hingga penelitian ilmiah yang mendalam di pendidikan tinggi.

Kurikulum IPA di Jerman memiliki karakteristik unik yang dipengaruhi oleh sistem pendidikan federal yang mendasarkan kebijakan pendidikan pada masing-masing negara bagian (Bundesländer). Meskipun terdapat pedoman umum yang diatur oleh kementerian pendidikan federal, implementasi kurikulum di setiap negara bagian dapat bervariasi, menyesuaikan dengan konteks lokal dan kebutuhan masyarakat.

Metode pembelajaran dalam kurikulum IPA di Jerman dirancang untuk mendorong siswa mengembangkan keterampilan berpikir kritis, analitis, dan kreatif.

1) Pembelajaran berbasis proyek (project-based learning). Metode ini melibatkan siswa dalam proyek jangka panjang yang memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi konsep sains secara mendalam. Siswa bekerja dalam kelompok untuk merencanakan, melakukan, dan mengevaluasi proyek yang terkait dengan topik tertentu dalam IPA.

2) Pendekatan interdisipliner. Pendekatan interdisipliner memfasilitasi penggabungan IPA dengan mata pelajaran lain seperti matematika, teknologi, dan ilmu sosial. Misalnya, saat mempelajari ekosistem, siswa dapat mengeksplorasi aspek biologi, geografi, dan bahkan etika lingkungan. Pendekatan ini membantu siswa memahami hubungan antar disiplin ilmu dan aplikasi praktisnya.

3) Integrasi STEM dan Inovasi. Jerman dikenal sebagai salah satu pelopor dalam integrasi STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) dalam kurikulum pendidikan, termasuk dalam pendidikan IPA. Fokus pada inovasi teknologi dan penemuan ilmiah menjadi salah satu ciri utama kurikulum IPA di negara ini.


(Gambar: Prof. Dr. Hans-Dieter Barke dari Muenster University)

Prof. Dr. Hans-Dieter Barke dari Muenster University adalah tokoh kunci dalam pengembangan dan implementasi pendidikan STEM di Jerman. Beliau memiliki keahlian dalam merancang kurikulum yang mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu dan mendorong pengajaran yang inovatif.

Prof. Barke telah terlibat dalam berbagai penelitian yang mengeksplorasi efektivitas pembelajaran berbasis STEM dalam pendidikan sains. Beliau menekankan pentingnya keterampilan berpikir kritis dan kemampuan siswa untuk menerapkan pengetahuan mereka dalam konteks yang kompleks.

Ia berkontribusi pada pengembangan kurikulum yang mengedepankan pembelajaran aktif dan kolaboratif, serta integrasi teknologi dalam pengajaran. Karya-karya beliau menjadi rujukan penting bagi pendidik dalam mengimplementasikan prinsip STEM di kelas.

4) Kurikulum IPA dalam konteks global dan lingkungan. Pendidikan IPA di Jerman juga mencakup topik global seperti perubahan iklim, energi terbarukan, dan keberlanjutan lingkungan. Siswa diajarkan untuk memahami tantangan global yang dihadapi umat manusia dan bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menjadi solusi. Dengan demikian, kurikulum IPA di Jerman tidak hanya berfokus pada pembelajaran teknis, tetapi juga pada kesadaran sosial dan lingkungan.

4. Perbandingan Kurikulum IPA Jerman vs Indonesia

Perbandingan kurikulum IPA antara Jerman dan Indonesia memberikan wawasan yang berharga tentang pendekatan pendidikan sains di kedua negara. Meskipun keduanya bertujuan untuk mendidik siswa dalam bidang sains, terdapat perbedaan dalam struktur pendidikan, metode pembelajaran, dan integrasi konsep-konsep sains dengan teknologi.

Perbandingan kurikulum IPA antara Jerman dan Indonesia menunjukkan perbedaan signifikan dalam struktur pendidikan, metode pembelajaran, dan integrasi STEM. Keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran di Jerman lebih ditekankan, menjadikannya lebih kolaboratif.

Kesimpulannya, reformasi dalam kurikulum dan metode pengajaran IPA di Indonesia diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sains.


Referensi:

Barke, H.-D. 2013. Teaching Science in the Twenty-First Century. International Journal of Science Education, 35(14), 2294-2315.

Secretariat of the Standing Conference of the Ministers of Education and Cultural Affairs of the Länder in the Federal Republic of Germany. (2021). The education system in the federal republic of Germany 2019/2020. KMK.

No More Posts Available.

No more pages to load.