Kerajaan Buntu Pane, Buttu Pane atau Munto Pane dengan Raja Pertamanya Raja Buttu Martabun di perkirakan bermula tahun 1544 M hingga meletusnya Revolusi Sosial 1946.
Raja Buttu Martabun bersama para pengikutnya membangun kerjaannya di Hulu Aek Silau di suatu kampong bernama Huta Padang Makkire (Ma ria Pane) sekarang berada di areal perkebunan Ambalutu, Kecamatan Buntu Pane, Kabupaten Asahan.
Jhon Anderson, Seorang Gebernur Inggris di Pulau Pinang dalam catatan jurnalnya (Mission to the East Coast of Sumatera) tahun 1823 menceritakan, ia pernah mengunjungi Kerajaan Buntu Pane, dimasa itu kerajaan di pimpin oleh Raja Nabaruton (dalam bahasa Batak Raja yang Bergondok Leher), Raja Nabaruton adalah generasi ke V dari kerajaan Buntu Pane.
Di bawah ini merupakan kutipan laporan perjalanan John Anderson Utusan Gubernur Penang ketika mengunjungi Asahan Pada tahun 1823 dalam bukunya:
“Mission to the Eastcoast of Sumatera”
Kami berlayar lagi subuh hari, arus mulai deras dan sungai makin sempit, dan kita selalu kena cabang-cabang pohon.
Tanahnya sangat baik untuk tanaman lada. Lebar sungai mulai menyempit sehingga perahu kami menggeser tebing di kiri kanan sungai. Ketika seekor gajah dibunuh, maka Raja mendapat sebuah gading. Sore harinya kami melewati sebuah Kampong Batak kecil yang dinamakan Durian, karena banyak durian disitu. Di sungai ini banyak cabangnya dan kami sampai di kampong Kisaran. Dekat kampong ini kami dengar gemuruhnya suara gajah. Sultan Muda terkejut dan meminta kita segera berangkat. Ketika bulan terang, kami bermalam di kampong Pasir Putih.
Kepala kampong ini adalah Kemanakan Sultan bernama Raja Laut. Disini banyak kuda kecil yang cantik, lembu, kerbau, kambing dan yang ternak lainnya, dan diantara pohon-pohon yang besar ada sekawanan gajah, dimana ia minta kami membantunya menyerang binatang itu, tapi kami tidak paham mengenai hal ini dan lebih baik tetap berada di tempat. Saya membeli dari Raja Batak disini, pedang yang sangat elok yang dibuat sendiri disebut Kalapan, gagangnya terbuat dari gading gajah.
Kami meninggalkan Pasir Putih dan tiba di Kampung Pematang Layar, kampong yang kecil disebut karena beberapa abad yang lalu orang Jawa (Majapahit?) membuat layar disini. Ketika kami mendekati Tanjung Alam, tanah mulai meninggi. Tengah hari kami berhenti di kampong Sejurai. Ada 50 orang yang berperawakan garang menemui kami ketika kami mendarat. Kami pergi ke rumah mereka yang disambut mereka dengan mesra.
Wanita bertenun kain disini. Orang Batak sangat takut pada Orang Melayu diseberang sungai ini, karena selalu merampas anak-anak mereka dan menjualnya sebagai hamba.
Kami melewati pondok-pondok orang Batak diatas bukit. Kami berpapasan dengan beberapa perahu penuh dengan garam. Penduduk dalam perahu itu membawa serta anak isterinya. Utusan Sultan Tiba menyatakan bahwa Raja tidak bisa datang karena masih berperang dengan orang Batak.
Kami melewati 2 buah batu yang ganjil pada masing-masing sisi sungai yang tingginya 200 meter. Kemudian kami melewati 2 buah batu besar yang disebut Batu Dikikir, yang seakan-akan mau menutupi sungai itu, dan kami seakan-akan mau memasuki terowongan. Saya mendapat tahu bahwa batu ini sememangnya dikikir oleh para Portugis beberapa abad yang lalu, ketika bangsa itu menguasai Melaka dan mempunyai perkampungan diatas sungai Asahan. Laut masa itu sampai di Sirantau, kami sampai di sebuah kampung kecil Bandar Pasir Mandogei setinggi 50 kaki dari atas sungai. Itu merupakan kumpulan berbagai pondok yang kumuh. Raja Bunto Panai, menyambut kami dengan upacara. Ia berusia setengah abad, berkulit cerah, dan penghisap candu yang kuat.
Dihadiahkannya pada sebuah Tirjing, pisau bergagang perak, digunakan untuk memotong daging manusia, Raja sedang menyerang kubu-kubu orang Batak dengan laskar 500 orang sekira perjalanan 1 hari. Sultan Muda segera pergi menemuinya. Di perbukitan dibelakang tempat ini banyak sekali benteng orang batak dibawah perintah Raja Bunto Panai. Di sekitar Pasir Mandogei ada 50 kampung dari benteng orang Batak, yang berpenduduk 300-1000 orang. Empat jam dari sini ada kampung Munto Meragi. Pinang Meratus, Sendi, Kasingino, Katuburka, Padang Nangali, Sungai Pulia, kesemuanya dilewati Sultan Muda untuk mendatangi Raja.
Perahu yang megikuti kami tiba, pagi hari banyak orang Batak Toba turun sampai ke pinggir sungai. Mereka datang dari danau yang besar. Jualan mereka terdiri dari kain yang dibuat sendiri, gagang pedang dan di tempat mereka harga 100 gantang padi $.1 : garam 3-4 gantang per dollar.
Warna kulit mereka agak kehitaman seperti orang Burma. Semuanya baru buat mereka termasuk cermin kecil. Saya hadiahkan beberapa buah dan mereka sangat gembira melihat muka mereka. Orang Batak itu menyebut orang Eropah “Melayu dengan gigi putih”. Salah seorang kepala suku membawa 4 wanita dan 2 orang anak kepada Raja Bunto Panei. Saya diserahkan beberapa orang hamba, tetapi saya tak mau menerimanya. Raja sangat sibuk untuk mengepung 8 buah benteng, yang berada dibawah kekuasaan Raja Tinding dari Terdolo. Di beberapa buah benteng saya lihat banyak tengkorak yang dipunyainya. Kawan-kawan dari yang sudah terbunuh jika sudah ada perdamaian, membeli kembali tengkorak kerabatnya seharga 30-40 dollar. Ibunda dari raja Asahan memberi orang yang membawa tengkorak kepada saya $.10.-
Pakaian wanita Batak dililit kain hingga kelutut, tetapi buah dada mereka terbuka. Di kampung-kampung yang lain, gadis kecil berumur 10-12 tahun sama sekali telanjang bulat. Rumah Raja yang masih muda itu penuh dengan wanita beberapa diantaranya cantik putih. Jika seorang Raja Batak menolak memberikan padanya salah seorang puteri, ia berperang denganya dan merampasnya dengan paksa. Raja Bunto Panai membantunya dengan tenaga manusia dan membagi rampasan dan rakyatnya membuat pesta terhadap orang yang ditawan. Sebagian puteri dari kepala suku Perdambanan ini bekulit cerah, sedangkan orang Toba berkulit kehitaman.
Pada jam 2, yang Dipertuan Sultan tiba dengan rombongannya dan memberikan tembakan kehormatan dengan senapan. Saya berada dengan Raja beberapa jam dan ia minta agar saya meneruskan perjalanan bersamanya, tetapi saya haru kembali ke Hilir. Ia menyediakan bekalan saya ubi, ayam, kambing, babi, dan lain-lain. Para kepala suku itu senang dengan barang-barang Eropah terutama kain merah.
Penulis: Haura Syah
Komunitas Pemerhati Budaya dan Sejarah Asahan (KOPAH)