Seminggu Ada 20 Janda Baru di Asahan, Angka Perceraian Meningkat

oleh
oleh

Kisaran – Di jaman sekarang kawin cerai memang sudah menjadi sesuatu tradisi yang mungkin sudah tidak bisa di elakan lagi. Berbagai alasan di luapkan ketika ada salah satu pihak yang meminta untuk bercerai, mungkin alasan klasik nya adalah tidak di nafkahinya seorang istri. Kalau tidak palingan dengan alasan salah satu dari mereka ada yang menghianati cinta mereka dengan berselingkuh dengan orang lain dan faktor ekonomi.

Ini juga terjadi di Kabupaten Asahan, yang tingkat perceraian di daerah tersebut meningkat drastis dari tahun ke tahun semakin meningkat tinggi saja. Informasi ini di dapatkan dari Panitera PA Kisaran Alpun Khoir Nasution yang  mengungkapkan kalau kebanyakan alasan istri menuntut cerai kepada suami nya itu dengan alasan tidak mendapatkan nafkah yang layak dari suami nya, dan sisanya karena perselingkuhan, KDRT dan narkoba.

“Dari fakta persidangan, rata rata alasan pasutri bercerai karena alasan ekonomi. Hampir 85 persen, sisanya disebabkan karena perselingkuhan, KDRT dan narkoba,” kata Alpun Khoir Nasution, Kamis (29/9/2016).

Berdasarkan laporan perkara yang diterima Pengadilan Agama Kisaran, tercatat kasus perceraian yang meliputi cerai talak dan cerai gugat pada tahun 2016 mencapai 614 dan jumlah tersebut meningkat, jika dibandingkan dengan masa waktu yang sama pada tahun 2015 sebanyak 506 vonis kasus cerai.

Lebih rinci, Alpun menuturkan selama tahun 2015 jumlah gugatan yang masuk 1.145 perkara dan menjatuhkan vonis terhadap 811 perkara, jumlah itu terdiri dari 961 perkara yang masuk tahun 2015 ditambah 184 gugatan sisa perkara 2014.

Sementara itu tahun 2016 sampai bulan Agustus masuk 893 perkara, jumlah itu terdiri dari 703 perkara yang masuk ditambah 190 sisa perkara tahun 2015. Tingginya kasus perceraian di Asahan mengakibatkan bertambahnya janda muda setiap hari. Artinya, jika dirata ratakan dari data diatas, ada 20 janda baru di Asahan setiap minggunya.

Adapun faktor penyebab terjadinya perceraian tertinggi berupa tidak ada pertanggungjawaban pihak suami, kemudian faktor ekonomi juga ikut ambil bagian dalam kasus perceraian. Sedangkan faktor lain yang menyusul seperti tidak ada keharmonisan, gangguan pihak ketiga, cemburu, kekejaman jasmani, krisis akhlak, kawin paksa, nikah dibawah umur, poligami tidak sehat, kekejaman mental, dihukum, cacat biologis dan lain-lain.

“Paling banyak kasus perceraian tersebut disebabkan persoalan ekonomi keluarga. Biasanya, kasus perceraian disebabkan suami yang tidak bertanggungjawab sehingga meninggalkan kewajiban kepada istrinya,” ujarnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan paling banyak pasangan suami istri yang bercerai berada di usia produktif antara 24 tahun sampai 35 tahun. Pada usia pasangan produktif tersebut, jelas Alpun, banyak yang belum memikirkan kelangsungan hidup karena kebanyakan hanya berfokus pada menikah tanpa memikirkan masa depannya.

Sebanyak 55 persen memang didominasi usia produktif. Biasanya pasangan yang menikah dalam usia tersebut belum memikirkan masalah ekonomi dan ada pasangan yang bercerai sudah memiliki anak satu atau dua. Kasus perceraian atau gugat cerai diajukan masyarakat yang berada di kawasan pedesaan.

Dari persoalan perekonomian tersebut, dia menyebut kemungkinan faktor minimnya lapangan pekerjaan bisa menjadi sangat berpengaruh dalam konteks sosial ekonomi keluarga.

“Karena minimnya lapangan kerja di wilayah asal inilah, kemungkinan banyak yang memutuskan pergi ke luar daerah saat kondisi rumah tangganya sedang mengalami masalah, terutama dalam faktor ekonomi,” katanya lagi. (Perdana)

No More Posts Available.

No more pages to load.