Toleransi dan Menjunjung Tinggi Perbedaan

oleh
oleh

Sebagian kita sering membuat lingkaran dalam kelompoknya dan tidak mau kompromi terhadap kelompok Islam lainnya lantaran berseberangan pemahaman.

Kita berbeda dalam hal yang sebenarnya tidak terlalu substansial untuk diperdebatkan. Tembok pemahaman itulah yang menyekat kita dalam golongan- golongan/kelompok yang berbeda. Jika kondisi ini terus menerus terjadi bukan tidak mungkin umat Islam akan pecah belah.

Memperdebatkan isu pinggiran dalam Islam sejatinya mirip dua orang buta yang ingin mengetahui bentuk gajah. Yang satu mengatakan gajah itu seperti tongkat karena memang yang dipegang adalah belalainya. Yang lain mengatakan gajah seperti bola karena memang yang dipegang adalah perutnya.

Keduanya sama-sama benar, tetapi jika mereka meraba secara keseluruhan mungkin kesimpulannya akan berbeda.

Islam adalah agama yang menghargai perbedaan. Karena perbedaan adalah sunnatullah yang harus dikelola dengan baik. Ibarat buah kelapa yang bermacam-macam jenis dan warnanya. Ada kelapa kopyor, kelapa hijau, kelapa gading dan lain-lain. Mereka memang berbeda warna kulitnya, tetapi berasal dari spesies yang sama.

Dalam kulit kelapa ada sepat, dalam sepat ada tempurung, dalam tempurung ada isi kelapa. Isi kelapa kita parut, kita peras hingga keluar saripatinya. Semestinya seperti itulah kita dalam ber-Islam. Dalam Islam ada iman, dalam iman ada ihsan. Itulah saripati Islam. Janganlah kita ber-Islam hanya pada tataran kulit. Masuklah ke dalamnya secara totalitas (kaffah).

Firman Allah diturunkan tidak pada ruang kosong. Umat Islam dengan latar belakang pendidikan, peradaban dan budayanya, menangkap sinar Ilahi itu dan hasilnya adalah pemahaman agama.

Pemahaman agama satu sama lain tentu berbeda dalam segala segi, tetapi zat yang menghidupkannya berasal dari satu sumber yang sama.

Perbedaan pemahaman hanya karena cara pandang kita yang berbeda. Oleh karena itu, sepanjang tidak menyangkut hal fundamental yang dapat merusak tauhid, rasanya tidak pantas jika kita cakar-cakaran, bertengkar masalah kulit luar agama.

Bertanya tentang bagaimana mengelola perbedaan, kita punya pengalaman sejarah menarik yang datang dari dua tokoh mainstream Islam, KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdatul Ulama (NU) dan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Adalah KH Hasyim Asy’ari yang terus mempertahankan eksistensi beduk. Karena kecintaannya terhadap pesan moral dari beduk, sampai-sampai beliau menyuruh pada santrinya untuk merawat tradisi tersebut agar jangan sampai tergerus oleh modernisasi.

Namun sebaliknya KH Ahmad Dahlan justru memiliki pandangan berbeda tentang beduk. Sebagai bentuk anti terhadap beduk, beliau melarang para santrinya memasang benda yang kaya tradisi itu di pojok-pojok masjid.

Secara harfiah kedua pandangan tersebut menempatkan beduk dalam posisi yang berseberangan. Satu sisi dijunjung tinggi, di sisi lain tidak memiliki arti.

Ada dua hal yang perlu kita rintis supaya perbedaan benar-benar menjadi rahmat dan bukan menjadi petaka bagi semesta alam:

PERTAMA: Memperbaharui hubungan ulama dengan umat.

KEDUA: Dari masjid mari kita jaga ukhuwah Islamiyah dan insaniyah.

Masjid jangan dijadikan tempat mengobarkan semangat permusuhan. Khutbah-khutbah yang dikumandangkan hendaknya bertemakan persaudaraan.

Sebab, Allah SWT tidak melihat dari etnik mana ia berasal, dari bendera partai apa ia bertarung. Di hadapan Allah SWT, manusia sederajat, yang membedakan adalah kualitas ilmu dan ketakwaannya.

Kita sesama muslim adalah bersaudara. Ibarat bangunan, yang satu menguatkan bagian lainnya. Ibarat anggota badan, jika yang satu sakit maka yang lain turut merasakannya.

Oleh karena itu, marilah kita hadirkan wajah Islam yang ramah dan lembut, seimbang (tawazun), toleran (tawasuth) yang tidak membeda-bedakan orang.

Sebab yang dipanggil oleh Allah SWT kelak bukan etnik tertentu, golongan tertentu, paham keagamaan tertentu, bendera politik tertentu.

Yang dipanggil Allah kelak adalah sebagaimana dalam salah satu firman-Nya surat Al-Fajr ayat 27-30 yang artinya: “Hai jiwa yang tenang tentram! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan senang (radiah) dan tenang (diridhai-Nya). Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” **